Gaza Hadapi Gelap dan Musim Dingin Hanya Dengan Lilin
http://islamic-defender.blogspot.com/2013/11/gaza-hadapi-gelap-dan-musim-dingin.html
“Penutupan pembangkit listrik dan kekurangan bahan bakar ini berdampak pada semua layanan penting. Termasuk rumah sakit, klinik, pengaturan limbah, dan stasiun pompa air,” kata koordinator kemanusiaan PBB untuk Tepi Barat dan Gaza, James W. Rawley.
Padahal pembangkit listrik ini baru saja dibuka kembali tahun lalu setelah diperbaiki dari kerusakan parah akibat serangan
udara Israel tahun 2006. Menurut Otoritas Energi Gaza, pembangkit tersebut menghasilkan sekitar 30 persen dari pasokan listrik Gaza, sisanya berasal dari ‘Israel’ (120 megawatt) dan Mesir (27 megawatt).
udara Israel tahun 2006. Menurut Otoritas Energi Gaza, pembangkit tersebut menghasilkan sekitar 30 persen dari pasokan listrik Gaza, sisanya berasal dari ‘Israel’ (120 megawatt) dan Mesir (27 megawatt).
Peningkatan pengamanan di perbatasan Mesir sejak Juni lalu telah secara drastis mengurangi impor bahan bakar melalui terowongan. Selain itu, pihak Otoritas Palestina di Ramallah, Tepi Barat, juga berhenti mengirim bahan bakar karena masalah sengketa pajak.
Untuk mendapatkan gambaran dampak pemadaman listrik terhadap warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza, kantor berita kemanusiaan IRIN bertemu dengan keluarga Balaha di Pantai Kamp Pengungsi.
“Pemadaman listrik di Gaza selalu berat. Tetapi sekarang jauh lebih berat,” kata Fuad Balaha di kios cukur miliknya. Fuad telah menikah dan mempunyai bayi berusia empat bulan. Ia harus menafkahi 18 orang di keluarganya, termasuk ibunya, saudara-saudara janda, karena ayahnya meninggal enam bulan lalu. Seluruh keluarganya tergantung pada kios cukur kecilnya.
Kami Hanya Punya Lilin
Saat malam menjelang, Enshira, Ibu dari Fuad Balaha, menyalakan lilin di rumah. Ia harus sesekali memeriksanya karena takut lilinnya terjatuh dan menimbulkan kebakaran.
“Kami hanya memiliki lilin. Generator kami rusak beberapa tahun yang lalu dan kami tidak bisa memperbaikinya karena mahal. Lagipula jika generator itu bekerja, dari mana kami bisa mendapatkan atau membayar bahan bakar? Jadi, kami bergantung pada lilin.”
Enshirah juga selalu memastikan terdapat penerangan yang cukup sehingga cucunya bisa belajar. ”Ini adalah hal yang sulit,” katanya, ”Tapi kami harus melakukan itu agar cucu-cucu bisa terus belajar.”
Setiap kali listrik menyala, semua orang langsung terburu-buru menyelesaikan tugas yang tertunda. Enshirah memimpin keluarganya bekerja cepat. Mereka langsung memasak, mengisi tangki air, mencuci, dan lainnya. “Seringkali pekerjaan belum tuntas, listrik sudah kembali padam,” tutur Enshirah.
Hanya Ingin Hidup Bermartabat
Bagaimana para siswa belajar dengan kondisi listrik terbatas? Yusri, 14 tahun, bersama adiknya terlihat sedang belajar di meja kecil dan rendah. Mereka membungkuk di sekitar lilin, mempersiapkan pelajaran untuk sekolah esok hari. Yusri adalah keponakan Fuad yang yatim.
“Saya mencoba untuk menyelesaikan membaca ketika listrik masih tersedia atau belajar di siang hari,” kata Yusri. ”Situasi ini banyak mempengaruhi kondisi saya untuk belajar. Padahal ujian tengah semester akan segera tiba.”
Saudara Fuad, Muhammad, juga sudah menikah dan memiliki bayi perempuan. Ketika istrinya memanaskan teh untuknya dengan kompor gas kecil, Muhammad berkata, ”Ini bukan hidup sama sekali. Seluruhnya menyedihkan.”
“Ini adalah persoalan utama di Gaza sekarang. Apa yang kami butuhkan adalah hak-hak utama untuk hidup tenang, sehat, dan layak. Kami ingin Gaza menjadi tempat bayi saya, keluarga, dan Palestina dapat hidup dengan martabat.”